Jumat, 11 Maret 2011

Membuat Kayu-Kayu Bersilangan

Suatu sore, dimasa yang telah lalu, ibu saya meminta tolong untuk membantunya merebus air dengan dandang yang besar karena di rumah kami akan ada hajatan. Malas juga rasanya, tapi demi melihat Ibu yang telah bekerja keras, hati ini menjadi luluh juga. Saya mengambil beberapa potong kayu bakar dan menyusunnya rapi di dalam tungku batu-bata sementara yang telah disiapkan. Rapi sekali saya menyusun kayu-kayu itu, mirip tentara yang berbaris, namun tanpa spasi. Melihat yang saya lakukan, Ibu memperingati saya.
Kata Ibu: jika kau susun kayu-kayu seperti itu, apinya tak kan besar dan air di dandang yang penuh itu tak kan matang seluruhnya. Kau harus menyilangkan, menumpangtindihkan, kayu-kayu bakar itu di dalam tungku, baru bisa mematangkan air dengan sempurna.
Ajaib, brilian, fantastis. Sebuah pengajaran hikmah yang luar biasa. Menyilangkan dan menumpangtindihkan agar api menjadi besar. Rasanya mirip dengan yang terjadi dengan bangsa ini belakangan. Ah, tapi tidak juga. Persilangan dan per’tumpangtindih’an oleh bangsa ini rentan menjadi konflik horisontal. Bersilangan sedikit saja, ketindihan sedikit saja, emosi memuncak. Tangan kaki berbicara dan batu-batu mulai beterbangan. Ada pihak yang jumawa karena merasa menang, sedangkan pihak lainnya tersudut ke pojok, berusaha mencari pembelaan (yang ujung-ujungnya mendasarkan pembelaannya pada pelanggaran HAM alias Hak Asasi Manusia_ Manusia atau ‘Minoritas’?).
Bangsa ini memang tersusun oleh perbedaan. Suku, agama, ras, golongan, pandangan politik, latar belakang pendidikan, tingkat kesejahteraan, dan lain-lain perbedaan lainnya. Dari dulu-dulu juga telah diejawantahkan dalam Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Entah lupa atau dilupakan, pondasi yang maha sempurna ini seakan-akan berkurang pengaruhnya. Mungkin karena letaknya yang dibawah, tertimbun oleh tanah zaman. Tapi, pondasi tetaplah pondasi. Ia yang menopang bangunan agar senantiasa tegak. Ia yang menyalurkan beban dari seluruh bangunan ke tanah, hingga bangunan dapat bertahan sepanjang usianya.
Perbedaan seyogyanya dipandang sebagai kesempatan memperkaya perspektif dan paradigma. Berbeda pendapat menjadi media diskusi yang apik dengan mengedepankan logika-logika rasional yang brilian dan elegan. Tidakkah kita dapat merasakan nikmatnya duduk bersama? Minum kopi dengan pisang goreng hangat, berbicara satu sama lain. Mengeluarkan pendapat. Bukankah ini dijamin kelegalannya oleh undang-undang?
Pembelajaran seperti ini yang agaknya mulai langka di masyarakat kita. Generasi mulai bergeser (hampir) menjadi degradasi. Mungkin ada pengaruhnya juga dengan mulai berkurangnya tokoh-tokoh kharismatik yang membina, memperkaya paradigma, menjadi penengah, dan pemimpin diskusi-diskusi di ruang publik. Salah satu fungsi tokoh ini adalah tetap menjaga api visi bangsa agar senantiasa berkobar dari kayu-kayu yang bersilangan dan tumpang tindih. Bahkan, tokoh ini pula yang bertanggung jawab mempersilangkan dan memper’tumpangtindih’kan masyarakat guna memancing argumentasi-argumentasi sosial yang selama ini hanya dipendam dan menjadi uneg-uneg. Cara-cara seperti ini jelas mencerdaskan. Masyarakat menjadi terlatih menyelesaikan masalah dengan jalan musyawarah dan mufakat, sesuai dengan nilai-nilai moral yang dikristalkan dalam ideologi pancasila. Jika seluruh energi telah tersedot oleh waktu-waktu diskusi, mana yang akan dipakai untuk memukul, menendang, dan melempar batu?
Cukup dengan masyarakat, mari berpindah ke tempat yang lebih ‘higher’. Di kasta paling atas juga sedang terjadi persilangan dan per’tumpangtindih’an yang cukup seru. Ada kelompok besar yang mulai terguncang dikarenakan angota-anggotanya satu-satu mulai mbeling. Kata Biru sih, mbeling. Tapi, Putih sama Kuning ga’ ngerasa tuh. Jadi, apa yang sebenarnya terjadi? Apakah dalam kelompok besar (baca:koalisi) harus sepakat-sepakat saja? Rasanya memang perlu sedikit pergolakan biar mereka kelihatan kerja. Biar seru dilihat di berita televisi. Ya, memang seru. Seperti seru-seruan yang terjadi di pasar. Dagang. Setidaknya yang di’perdagangkan’ adalah sapi, bukan ayam atau burung puyuh.
Mulai muncul pertanyaan: kok kelihatannya terlalu lama ya? Padahal kalau mau dibikin simpel, ya simpel. Kaya sinetron stripping. Kalau ide sinetron itu dijadikan film, paling cuma satu setengah jam. Apalagi pelaku-pelaku semuanya adalah orang-orang cerdas. Mantan anak kuliahan. Jangan-jangan sudah terbiasa begitu sejak jadi anak kuliahan(nah, lo..)? Wake up, Sir. Ada BBM yang mengalami kelangkaan, kemiskinan yang menunggu untuk dientaskan, kebodohan yang secepatnya harus diterangkan, konflik keagamaan yang hendaknya didinginkan, dan masalah ‘tetek bengek’ lainnya. Yang penting, apinya tetap dijaga untuk menjamin kemajuan bangsa dan mensejahterakan rakyat, bukannya untuk masak roti dan dimakan oleh golongan-golongan sendiri.
Yah, demikianlah. Ibu memang cerdas. Terang saja, ilmunya langsung dari Tuhan. Semoga bangsa ini bisa belajar sedikit dari ibu saya. Yang penting, mau berubah. Itu saja. “Bukanlah seharusnya//perbedaan menjadi jurang//bukankah kita diciptakan//untuk dapat saling melengkapi//mengapa ini yang terjadi?” demikianlah syair apik yang dahulu dilantunkan oleh penyanyi cantik yang sekarang duduk di parlemen.


subjektif oleh Pambayun Kendi. P

Minggu, 06 Maret 2011

Malioboro: Uniquely Public Space

Malioboro yang Menyimpan Kenangan.
Kawasan Malioboro, walaupun sudah sering dikunjungi, tidak akan menimbulkan rasa jenuh untuk mengunjungi tempat itu di kemudian hari, baik oleh orang yang berdomisili di Yogyakarta ataupun wisatawan yang berasal dari daerah lain. Hal ini dikarenakan, kawasan Malioboro, lengkap dengan segala atribut di dalamnya, berhasil menimbulkan kenangan tersendiri bagi mereka. Suasana Malioboro yang begitu khas, yang tidak ditemui di tempat lain, memicu munculnya kenangan tersebut. Suasana yang khas tersebut terbentuk melalui elemen-elemen penyusun Malioboro, seperti: pedagang pakaian kaki lima, pedagang asesoris, pedagang barang antik, pedagang makanan, pengamen, pengemudi becak, andong, dan lain-lain. Elemen-elemen ini seolah menjadi pemicu munculnya ingatan tertentu bagi pengunjung yang mengunjungi kawasan itu untuk kali kedua dan seterusnya.
Tidak hanya elemen-elemen, pelaku seperti yang telah disebutkan, yang bisa memicu munculnya ingatan tertentu, street furniture, bangunan, dan penataan kawasan juga mampu menimbulkan kenangan bagi para pengunjung. Street furniture yang unik, yang tidak didapati di tempat lain, menjadi sangat mudah melekat dalam ingatan pengunjung terkait dengan ingatan tertentu. Lampu jalan yang bercat hijau dan antik, kursi beton yang ditata zig-zag, kursi kayu yang unik, dan pot-pot tanaman dari beton. Bangunan-bangunan, seperti: Malioboro mall, toko batik, pasar Beringharjo, benteng Vreedeburg, dan toko cinderamata. Kawasan yang tertata, entah disengaja atau tidak, terbagi menurut fungsinya. Jika berjalan dari arah parkir bus dekat videotron ke arah Monumen 11 Maret akan didapati penjual makanan menempati sisi jalan di sebelah kiri dan penjual pakaian dan asesoris di sebelah kanan. Jadi, jika pengunjung memilih untuk berwisata kuliner, maka ia akan memiilih berjalan di sisi sebelah kanan. Begitu sebaliknya jika pengunjung memilih untuk bebelanja pakaian dan asesoris. Jika telah penat berjalan, di ujung, dekat benteng Vreedeburg, terdapat ruang terbuka yang dilengkapi bangku-bangku sebagai tempat beristirahat.
Titik yang banyak “menyimpan kenangan” di Malioboro adalah Benteng Vreedeburg dan sekitarnya. Titik ini sering dijadikan sebagai tempat kegiatan yang bersifat kolektif. Seting ruang juga menunjang untuk dilakukannya kegiatan yang melibatkan kelompok. Ruang terbuka di depan benteng sering dijadikan tempat berkumpul, terutama pada sore hingga malam hari. Bangku-bangku yang disusun berdekatan memungkinkan terjadinya personal space pada jarak yang intim, sehingga banyak anak-anak muda yang menggunakannya untuk tempat bercakap-cakap terutama dengan lawan jenis. Seting yang demikian juga memungkinkan terjadinya perkenalan antara dua orang yang belum kenal sebelumnya, bahkan berlanjut ke jenjang pernikahan. Banyaknya pengamen yang “beraksi” di tempat ini menjadikan suasana menjadi semakin intim ketika pengamen menyannyikan lagu-lagu yang menggambarkan perasaan mereka pada saat itu.
Ruang terbuka di depan benteng juga sering digunakan untuk nongkrong dan kumpul-kumpul klub motor, vespa, mahasiswa, dan anak sekolah. Selain tempatnya yang memang memungkinkan, di tempat ini juga banyak penjual makanan, seperti nasi kucing dan sate. Di dekat perempatan sering digunakan sebagai tempat diadakannya kegiatan-kegiatan kesenian yang terencana. Misalnya, pada tanggal 31 Oktober (2009) lalu berlangsung acara kesenian yang diadakan mahasisiwa UNY dalam rangka menghimpun dana kemanusiaan untuk korban gempa di Padang. Pada waktu yang sama, di Monumen 11 Maret diadakan acara festival kuliner.
Ruang sebagai tempat kegiatan memang berpotensi menyimpan kenangan masa lalu. Seting ruang yang terekam di ingatan manusia terkait dengan kegiatan tertentu pada masa lalu dapat dijadikan pemicu munculnya ingatan tersebut jika suatu waktu manusia berada pada seting yang sama. adapun hal-hal yang menjadi sumber kenangan, diantaranya: ikatan batin pelaku dengan ruangnya, kegiatan yang terjadi pada waktu tertentu, dan seting ruang termasuk objek yang ada di dalamnya. Tidak mengherankan memang jika mendapati pengunjung yang mengunjungi Malioboro hanya untuk mengenang peristiwa berkesan pada masa lalu. Malioboro memang menyimpan kenangan.




Malioboro Sumber Inspirasi
Yogyakarta gudang seniman, sudah diakui oleh banyak orang. Banyak seniman dari berbagai cabang seni muncul dari kota ini. Bahkan, grup musik legendaris Kla Project khusus menulis lagu berjudul Yogyakarta yang menggambarkan suasana khas Kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta dengan suasananya menjadi inspirasi bagi seniman music, lukis, tari, sastra, drama, dan lain-lain.
Salah satu kawasan yang tidak kalah inspiratif adalah Malioboro. Malioboro lengkap dengan kegiatan dan suasananya mampu memunculkan ide-ide di benak seniman untuk menghasilkan buah karya. di sepanjang jalan Malioboro banyak didapati penjual benda-benda seni yang indah. Meskipun tidak semua yang diproduksi di tempat, namun tetap di dapati beberapa karya yang sangat jelas terinspirasi dari Malioboro. Terlihat dari beberapa lukisan dan desain kaos. Di sepanjang jalan Malioboro juga banyak di dapati seniman yang menerima pesanan membuat sketsa wajah meskipun yang di buat sketsanya adalah wajah pengunjung. Pengunjung adalah bagian temporal dari Malioboro.
Adapun yang menjadi sumber inspirasi terutama adalah objek-objek yang unik. Di Malioboro banyak terdapat objek unik, terutama arsitektur bangunan dan street furniture-nya. Bangunan berlanggam colonial dengan arsitektur yang khas ditampilkan oleh Benteng Vreedeburg, Kantor Pos, Bank BNI, dan bangunan lainnya. Street furniture berupa lampu jalan, bangku, dan monumen lengkap dengan detail warna dan tekstur menjadi sumber inspirasi visual yang unik. Tidak ketinggalan becak dan andong. Objek-objek fisik tersbut biasa dituangkan dalam sketsa, lukisan, dan foto. Seringkali objek-objek fisik tersebut dikombinasikan dengan kegiatan yang berlangsung, sehingga objek fisik menjadi penanda tempat dalam karya sketsa, lukis, dan foto.
Kegiatan yang paling utama di Malioboro adalah perdagangan. Dari kegiatan perdagangan, akan muncul kegiatan-kegiatan lain yang menjadi efeknya. Kegiatan-kegiatan tersebut memunculkan pola-pola yang kemudian dipahami sebagai perilaku, baik pedagang maupun pengunjung. Kegiatan dan perilaku tersebut tidak luput dari pengamatan seniman dan menjadi inspirasi dalam menciptakan karya seni. Sebagai contoh, lagu Yogyakarta dari Kla Project secara reseprentatif menggambarkan kegiatan-kegiatan yang terjadi di Malioboro. Contoh lainnya, kegiatan di Malioboro direkam dan dituangkan dalam media kaos yang apik dan menggugah senyum, Dagadu.
Suasana Malioboro yang berbeda dari tempat lainnya turut memunculkan inspirasi berkarya bagi para seniman. Para pedagang, penarik becak, dan kusir andong yang ramah dan berbahasa halus memunculkan atmosfir yang khas dan berbeda. Suasana keakraban jelas terlihat dari banyaknya pengunjung yang melakukan kegiatan kolektif. Banyak seniman yang biasa duduk dalam waktu yang agak lama sambil merenungi apa yang telah terekam dalam memorinya. Jika sudah demikian, dorongan untuk berkarya pun menjadi tidak terbendung lagi.
Malioboro memang sumber inspirasi. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya inspirasi tersebut, diantaranya: objek fisik yang unik, kegiatan dan perilaku pengunjung, dan suasana yang begitu khas di Malioboro.

Kamis, 03 Maret 2011

You Can Be Anyone You Want


            Terkadang kita berpikir untuk maju, atau hendak melakukan sesuatu, tetapi urung karena segera dicegah oleh diri kita sendiri. Ya, diri sendiri. Diri sendiri memang dapat berubah menjadi musuh yang sangat mematikan. Cara-cara pencegahan tersebut dimanifestasikan dalam bentuk rasa malas, minder, merasa tidak punya kemampuan, ataupun menjelek-jelekkan diri sendiri secara verbal. Di tengah kampanye ‘be yourself’ yang semakin gencar di media-media, haruskah kita bertahan dengan diri sendiri yang jelas-jelas memuat segudang sisi negatif?
            Pernahkah kita berpikir untuk menjadi orang lain? Apa manfaat yang kita peroleh jika menjadi orang lain? Salahkah berlaku demikian?
            Jika ingin pintar berbicara, jadilah Soekarno. Jika ingin tajam dalam menganalisa, jadilah Hatta. Jika ingin lancar merangkai kata-kata, jadilah Chairil. Jika ingin kaya raya, jadilah Martha Tilaar. Jika ingin pandai dalam mencipta karya rupa, jadilah Affandi. Jika ingin menggaet lebih banyak wanita, jadilah Donny Alamsyah atau Irfan Bachdim (nama-nama yang muncul 100% dalam negeri mengingat negeri ini juga penuh dengan orang-orang hebat). See,semudah itu untuk menjadi orang lain. Lalu mengapa kita bertahan dengan diri sendiri? Tidakkah kita punya keinginan untuk melangkah ke depan, ke keadaan yang lebih baik?
            Banyak orang bilang adalah palsu menjadi orang lain. Sebenarnya tidak juga. Jika kita mengikuti prosesnya dengan benar dan sungguh-sungguh, menjadi orang lain dan menjadi diri sendiri adalah dua hal yang berdekatan. Mario Teguh pernah berkata (sepanjang ingatan verbal saya): menirulah, hingga kamu tidak bisa meniru lagi. Meniru di sini mengisyaratkan untuk meniru orang lain (dalam tingkatan yang lebih ekstrem: menjadi orang lain), meniru hal-hal yang baik dari orang lain untuk dijadikan bagian dari diri sendiri. Semakin banyak hal-hal baik yang dapat kita tiru, semakin banyak hal-hal baik yang dapat kita simpan, semakin kaya diri kita.
            Untuk dapat menjadi orang lain, hal pertama yang harus dilakukan adalah belajar. Belajar secepat mungkin dari berbagai sumber dan media (literatur, televisi, artikel, film, berita, rumor, dsb). Kunci utama dari belajar adalah kebersediaan. Jika bersedia dan rela untuk belajar, maka proses belajar akan semakin cepat. Kita harus paham sepenuhnya mengenai orang-orang yang ingin kita menjadi dirinya. Kita harus dapat menyerap dengan cepat cara berpikirnya, cara berbicaranya, cara berjalannya, cara tersenyumnya, hingga caranya mencium seorang gadis (yang terakhir ini butuh keberanian ekstra, lho). Apapun tentang pribadi yang kita ingin menjadi dirinya harus kita serap dengan cepat untuk kemudian dipraktekkan. Persis seperti berakting. Para aktor seyogyanya harus melakukan observasi yang mendalam jika ingin sukses membawakan sebuah peran.
             Sebagai contoh, pada hari Sabtu kita ingin menjadi Gie (Soe Hok Gie). Untuk dapat ‘memerankan’ Gie dengan sempurna, kita harus melakukan hal-hal seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Bacalah buku-buku tulisannya, kenali hobi dan kebiasaannya. Contoh yang sukses membawakan Gie adalah Nicholas Saputra, yang memerankan Gie dalam film berjudul sama. Memang tidak terlalu sama, tapi kita tetap dapat meng- copy sosok Gie dari hasil observasi yang dilakukan Nicholas. Tontonlah film tersebut dua atau tiga kali. Perhatikan cara dia berbicara, tersenyum, cara berjalan, cara dia menatap, cara dia menyangklong tas, dan cara-cara lainnya. Buat rencana untuk melakukan apa-apa yang ‘Gie’ lakukan seperti dalam film tersebut: membaca, menulis, nonton film, berdiskusi, naik gunung, berkumpul dengan teman-teman, dsb. Dan ketika hari Sabtu tiba, bangunlah dengan label di dada: ‘hari ini aku adalah Gie’. Dan jika latihan ini sukses, minggu depan jadilah Soekarno, Hatta, Chairil, Affandi, atau siapapun yang ingin kamu menjadinya. Akan lebih baik jika kegiatan ini dianggap sebagai bagian dari kesenangan, seperti aktor yang menemukan kesenangan dalam berperan. 


            Lalu bagaimana dengan diri sendiri? Apakah hilang begitu saja dengan menjadi orang lain? Tentu tidak. Pada akhirnya kita adalah kita. Kita dengan muatan Soekarno, Hatta, Chairil, dan Affandi. Kita yang sudah tidak bisa lagi meniru karena semua pribadi yang kita inginkan telah menyatu ke dalam pemikiran dan jiwa kita. Yes, you can be anyone you want.