Jumat, 22 April 2011

Hijau Bukanlah Simbol

Setiap 20 April pada tiap tahun kita manusia memperingati hari bumi. Layaknya sebuah peringatan, ada sebentuk rasa terima kasih yang terbalut dalam memori historis dan semangat untuk terus melangkah ke depan. Hari pahlawan, misalnya. Sedari kecil kita diajarkan untuk menghormati jasa-jasa para pahlawan dengan mengisi kemerdekaan dengan pembangunan, prestasi, dan kegiatan bermanfaat. Bukannya skeptis, seiring perjalanan waktu peringatan-peringatan tersebut semakin kerdil sebagai simbol yang dangkal maknanya: tapi sangat disukai.


Beberapa hari yang lalu di kampus ‘kita’ diadakan sebentuk aksi car free day dalam rangka memperingati hari bumi. Mobil-mobil (dan sepeda motor: car free day?) yang hendak masuk kampus dihadang dan pengemudinya dipersilakan jalan kaki. Semakin semarak dengan diadakannya pentas musik di dekat pintu masuk. Sebuah lompatan yang cukup bagus, terasa pada awalnya, namun sangat mengecewakan pada akhirnya: simbol yang dangkal makna. Car free day bukanlah car free day sesungguhnya dimana satu hari adalah 24 jam. Sehabis jam makan siang, kendaraan-kendaraan bermotor sudah ber-wara-wiri lagi di kampus seakan tidak terjadi apa-apa. Bahkan, menurut penuturan seorang teman, ada ‘staf pengajar universitas’ yang menunda mengadakan Ujian Tengah Semester hingga jam satu dengan alasan…. Fffiiiiiiiiuuhhhh.


Waktu masih semester tiga (atau empat?) lalu, sekelompok mahasiswa arsitektur melakukan survey ke sebuah showroom produk otomotif ternama asal Jepang (termasuk dalam kelompok ini adalah saya) guna memperoleh informasi untuk tugas perancangan. Saya masih ingat, seorang tour guide yang terbilang cantik, memberikan penjelasan panjang lebar atas semua pertanyaan yang kami lontarkan. Si ‘Mbak’ juga sangat bersemangat menerangkan komitmen perusahaan terkait lingkungan hidup. Beberapa kali ia mengucapkan kata green di sela-sela paparannya. Saya memperhatikan, di kaca bagian office di lantai dua juga ditempeli penghalang pandangan dengan warna hijau dengan gambar daun yang banyak. Wah, serius nih. Iseng, saya melemparkan pertanyaan: berapa perbandingan antara perkerasan dan hijauan bangunan ini? ada 60-40 sesuai rekomendasi yang umum dipakai? Si Mbak langsung diam dan agak cemberut. Wah, makin cantik dia ternyata. Naluri menggoda bangkit, saya teruskan: dikarenakan showroom ini lokasinya di up town, seharusnya persentasenya bisa kebalik lo, mbak. Jadi 40-60. Ahh… lagi-lagi simbol.


Kalau mau cerita-cerita simbol yang lainnya, masih banyak kok. Tidak percaya? Lihat saja aksi penanaman seribu pohon (yang tidak dibarengi pemeliharaan). Lambang partai politik, banyak yang hijau. Atap gedung DPR (yang lama) juga hijau. Warna jas almamater juga banyak yang hijau. Habis lampu merah pasti hijau. Tapi, tak satupun dari hijau-hijau itu berperilaku layaknya hijau. Apalagi produk rokok yang asyiknya rame-rame…. Sumber CO2 itu mah.


Mari memperhatikan beberapa data mengenai isu terkait. Hampir 90% penyebab pemanasan global adalah ulah manusia membakar bahan bakar fosil yang menghasilkan karbon dioksida (CO2) : 29,5% dari sektor pembangkit daya, 20,6% dari sektor industri, dan 19,2% dari sektor transportasi. (Indonesia adalah negara penghasil CO2 terbesar nomor 11 di dunia - sumber : Intergovernmental Panel on Climate tahun 2007). Kasus di Amerika : panas yang diakibatkan oleh pembakaran energi untuk bangunan arsitektur sebesar 48%, transportasi 27% dan industri 25%. Penggunaan energi untuk bangunan arsitektur tersebut terdiri dari 40% untuk penerangan buatan, 40% untuk AC, dan 20% untuk kebutuhan lain [(sumber : WorldWatch Institute tahun 2003). Data di atas disalin dari perkuliahan Perancangan Kota 2]. Geliat aktivitas perkotaan jelas memberikan sumbangsih terhadap tingginya kadar CO2 yang mengakibatkan tingginya suhu lingkungan. Belum lagi volume perkerasan yang tidak proporsional.


Jika membicarakan problem lingkungan, topik yang paling kerap muncul adalah isu keberlanjutan (sustainability). Sustainability menuntut adanya planning and designing sebagai titik tolak penerapannya. Secara mendasar, prinsip sustainability diejawantahkan dalam tiga sudut elemen kehidupan, yakni: lingkungan (environment), pertumbuhan ekonomi (economic growth), dan masyarakat (society). Idealnya, ketiga elemen tersebut harus berjalan dengan berimbang, tanpa ada yang berat sebelah. Namun, pada kenyataannya elemen pertumbuhan ekonomi porsinya semakin membesar dari waktu ke waktu, menggeser yang lainnya. Demi ‘modal yang sekecil-kecilnya, pendapatan yang sebesar-besarnya’ apapun bisa dikalahkan. Uang memang bisa bicara. Uang juga bisa membunuh. Uang juga bisa merevisi rencana dan desain kota seenak jidatnya.


Indonesia, sebagai zamrud ‘hijau’ khatulistiwa, sebenarnya telah menerapkan dasar-dasar sustainability sejak dahulu; bahkan juga gaya hidup hijau. Ciri nyata dapat ditrmui pada arsitektur rumah tradisional: prinsip-prinsip hijau melalui bangunan tropis. Siang hari tidak terasa panas karena pembayangan dari teritis yang lebar dan ventilasi silang; tidak perlu AC. Siang hari juga tidak perlu penerangan buatan karena adanya bukaan dengan arah yang tepat (utara-selatan). Pohon-pohon sebagai pereduksi polutan terpelihara dengan baik, dan rupa-rupa lainnya. Kearifan-kearifan lokal yang mengajarkan pola hidup seimbang, tidak berat sebelah, dan bersahabat dengan alam menunjukkan betapa tidak inginnya pendahulu kita untuk menjadi rakus. Rakus adalah kata lain dari kapitalisme, sebuah virus yang terbawa angin dari barat yang meracuni pikiran orang-orang kita, hingga mengacaukan prinsip-prinsip keseimbangan, memberatkan kepada satu elemen saja.


Kembali ke isu perkotaan, kenyataannya dari 220 juta jiwa penduduk Indonesia, lebih dari separuhnya tinggal di perkotaan. Bisa dibayangkan tingginya aktivitas perkotaan yang menuntut konsumsi energi yang tinggi pula. Energi memang kekal; tidak dapat diciptakan juga tidak dapat dimusnahkan. Namun, bahan bakar dan sumber daya terbatas. Lama-lama habis. Efek yang dihasilkan dari pemanfaatan energi besar-besaran juga bisa jadi sangat buruk: paling utama adalah pemanasan global dan pencemaran udara oleh CO2. Tingginya suhu berdampak pada pencairan es di kutub-kutub dalam skala yang cukup besar, sehingga menyebabkan naiknya permukaan air laut rata-rata 20 cm per tahun. Cuaca jadi tidak menentu. Yang seharusnya musim kemarau, malah turun hujan. Di bulai sedia ‘ember’ malah panas terik, dan tak jarang terjadi kebakaran hutan. Kualitas udara menurun, rata-rata hanya tiga hari dalam satu tahun, udara kota Jakarta dinyatakan bersih. Penurunan kualitas lingkungan yang demikian, jika terus dibiarkan suatu saat pasti mengancam kelangsungan hidup manusia.


Oleh karena itu, perwujudan kota tropis di Indonesia adalah mutlak, karena pada kenyataannya, tidak semua kota di Indonesia tergolong kota tropis meskipun berada di negara tropis. Penerapan peraturan terkait pemanfaatan lahan dan pengendalian pemanfaatan ruang harus tegas, jangan mau dibengkokkan oleh uang. Masterplan kota harus merespon kebutuhan masyarakat kota akan wadah beraktivitas: bekerja, berekreasi, berinteraksi, dan bermukim secara efektif dan cerdas. Wadah-wadah kegiatan terebut juga harus dirancang sebaik-baiknya hingga aman dan nyaman untuk digunakan. Penghijauan sebagai elemen pembayangan, suplay oksigen dan peredam kebisingan diperbanyak. Ruang terbuka hijau tetap dipertahankan luasannya minimal 30%.


Guna mengurangi pemakaian kendaraan bermotor (yang berarti mengurangi pencemaran udara), sarana tansportasi massa harus mendapat perhatian kuhsus. Jalur sirkulasi kendaraan dibuat jelas, terintegrasi, dan mudah diakses. Sarana transportasi massa dibuat selayak dan senyaman mungkin. Jalur pejalan kaki dibuat senyaman mungkin dengan dimensi yang tepat, pembayangan (dari pepohonan atau gedung di sebelahnya), dan naungan dari hujan di beberapa titik. Yang lebih penting adalah mengedukasi masyarakat untuk tidak melulu menggunakan kendaraan pribadi.


Jadi, apakah kita masih senang dengan sesuatu yang berbau simbol? Masih? Tunggu saja sampai tubuh panas terbakar dan mulut megap-megap mencari udara. Tunggu saja….

Jumat, 08 April 2011

PERAN SERTA GENERASI MUDA MENANGANI PERMASALAHAN SAMPAH

Sampah merupakan bahan yang terbuang dari hasil aktivitas manusia. Sampah sebagai hasil sampingan dari aktivitas manusia memang tidak dapat ditiadakan sama sekali. Bahkan, dari hari ke hari volumenya cenderung bertambah. Pertambahan volume sampah dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: jenis aktivitas, tingkat aktivitas, iklim, musim, kepadatan, dan jumlah penduduk. Seiring pesatnya perkembangan teknologi, terjadi perubahan terhadap pola perilaku manusia. Masyarakat, khususnya masyarakat perkotaan, semakin menginginkan kepraktisan dalam setiap aktivitasnya. Hal ini memberi dampak yang signifikan terhadap pertambahan volume sampah. Botol-botol plastik, bungkus plastik, dan gelas-gelas styrofoam merupakan contoh nyata tentang korelasi ‘hidup praktis’ dan sampah.

Sampah yang tidak ditanggulangi secara cepat dan benar akan berdampak buruk terhadap banyak segi kehidupan manusia. Kesehatan misalnya. Sampah yang menumpuk banyak mengandung kuman penyakit. Sampah-sampah yang dapat menampung air hujan, seperti botol plastik dan kaleng, bisa menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk dan berpotensi menularkan penyakit malaria dan demam berdarah. Dari segi lingkungan, sampah akan mengurangi keindahan. Air rembesan sampah yang masuk ke dalam tanah dapat mengakibatkan sumber air tanah tercemar. Bahkan, sampah juga dapat menurunkan pendapatan daerah karena tumpukan sampah di tempat-tempat strategis kegiatan perekonomian dapat memperburuk citra daerah, seperti yang terjadi di Bandung 2008 lalu.

Masalah sampah sebenarnya berkaitan langsung dengan kesadaran masyarakat. Di sini dituntut masyarakat yang sadar dan tanggap terhadap bahaya yang ditimbulkan jika masalah sampah tidak ditanggulangi segera. Generasi muda yang merupakan bagian dari masyarakat juga dapat berperan di dalamnya. Dimulai dari hal yang sederhana dan dari diri sendiri dengan menerapkan prinsip 4R, yaitu:

1.Reduce (mengurangi); sedapat mungkin menggunakan sedikit bahan/material di dalam beraktivitas, contohnya menggunakan pensil ketika menulis/mengkonsep sesuatu agar bisa dihapus ketika salah daripada harus berganti-ganti kertas.

2.Reuse (menggunakan kembali); menggunakan barang-barang yang bisa digunakan berulang-ulang, bukan barang yang sekali pakai. Lebih baik menggunakan gelas kaca untuk minum kopi daripada gelas styrofoam.

3.Recycle (mendaur ulang); sampah-sampah yang tidak dapat diuraikan secara alami, seperti plastik, kaca, dan styrofoam harus di daur ulang. Tidak semua orang bisa melakukannya, melainkan pada perusahaan-perusahan yang khusus bergerak di bidang daur ulang. Kita dapat ikut membantu dengan memisahkan sampah organik (sampah basah) dan sampah anorganik (sampah kering) agar sampah anorganik bisa langsung didaur ulang.

4.Replace (mengganti); segera ganti barang-barang yang hanya sekali pakai dengan yang bisa dipakai berulang-ulang. Ganti juga barang-barang ‘kurang ramah’ lingkungan dengan yang ‘ramah lingkungan’. Tidak perlu malu membungkus makanan dengan bungkus daun atau kertas daripada harus menggunakan kotak styrofoam. Biasakan membawa keranjang sendiri ketika berbelanja daripada harus menggunakan kantong plastik.

Generasi muda, khususnya mahasiswa, dalam segmentasi usia 17-23 tahun merupakan masa transisi yang sangat terikat dengan mode dan gaya hidup. Artinya, mereka merasa menjadi bagian dari lingkungan (lingkungan mahasiswa dan golongan muda) jika dapat mengikuti perkembangan mode dan gaya hidup yang berlangsung di kalangan mahasiswa. Berbagai inovasi terus dilakukan karena mahasiswa merupakan golongan intelektual yang mempunyai idealisme sendiri tentang mode dan gaya hidupnya. Akhir-akhir ini perkembangan mode dan gaya hidup mahasiswa justru mengarah kepada ‘gerakan sadar lingkungan’. Berbagai wacana tentang pengelolaan sampah dan lingkungan yang bersih terintegrasi dalam semangat Green Environtment. Semakin banyak agenda kegiatan yang berkaitan langsung dengan upaya-upaya penerapan prinsip 4R baik di lingkungan kampus ataupun di tengah-tengah masyarakat. Melalui event-event sejenis ‘Pekan Kreativitas’, mahasiswa mempertunjukkan penggunaan barang-barang recycle dan reuse yang bernilai ekonomi dengan cara yang bagus dan menarik. Yang tidak kalah menariknya adalah kampanye I’m Not A Plastic Bag User telah menjadi tren tersendiri di kalangan generasi muda. Kekuatan sebuah tren yang dilandasi pemahaman yang baik dari generasi muda merupakan senjata yang ampuh untuk melakukan perubahan.

Hal lain yang dapat dilakukan generasi muda dan tidak kalah pentingnya adalah menanamkan kesadaran akan pentingnya kebersihan lingkungan sejak dini kepada keluarga dan anak-anak di lingkungan terdekat. Karena kesadaran dan kebiasaan yang telah tertanam sejak masa kanak-kanak akan sulit untuk dirubah hingga dewasa kelak.

Akhirnya, masalah sampah adalah masalah yang berkaitan langsung dengan kesadaran tiap-tiap pribadi. Meminjam 3M-nya K. H Abdullah Gymnastiar, mulai dari diri sendiri, mulai dari hal yang kecil, dan mulai saat ini.







PERAN SERTA GENERASI MUDA MENANGANI PERMASALAHAN SAMPAH

OLEH:
PAMBAYUN KENDI.P
L2B007056

JURUSAN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO

Jumat, 11 Maret 2011

Membuat Kayu-Kayu Bersilangan

Suatu sore, dimasa yang telah lalu, ibu saya meminta tolong untuk membantunya merebus air dengan dandang yang besar karena di rumah kami akan ada hajatan. Malas juga rasanya, tapi demi melihat Ibu yang telah bekerja keras, hati ini menjadi luluh juga. Saya mengambil beberapa potong kayu bakar dan menyusunnya rapi di dalam tungku batu-bata sementara yang telah disiapkan. Rapi sekali saya menyusun kayu-kayu itu, mirip tentara yang berbaris, namun tanpa spasi. Melihat yang saya lakukan, Ibu memperingati saya.
Kata Ibu: jika kau susun kayu-kayu seperti itu, apinya tak kan besar dan air di dandang yang penuh itu tak kan matang seluruhnya. Kau harus menyilangkan, menumpangtindihkan, kayu-kayu bakar itu di dalam tungku, baru bisa mematangkan air dengan sempurna.
Ajaib, brilian, fantastis. Sebuah pengajaran hikmah yang luar biasa. Menyilangkan dan menumpangtindihkan agar api menjadi besar. Rasanya mirip dengan yang terjadi dengan bangsa ini belakangan. Ah, tapi tidak juga. Persilangan dan per’tumpangtindih’an oleh bangsa ini rentan menjadi konflik horisontal. Bersilangan sedikit saja, ketindihan sedikit saja, emosi memuncak. Tangan kaki berbicara dan batu-batu mulai beterbangan. Ada pihak yang jumawa karena merasa menang, sedangkan pihak lainnya tersudut ke pojok, berusaha mencari pembelaan (yang ujung-ujungnya mendasarkan pembelaannya pada pelanggaran HAM alias Hak Asasi Manusia_ Manusia atau ‘Minoritas’?).
Bangsa ini memang tersusun oleh perbedaan. Suku, agama, ras, golongan, pandangan politik, latar belakang pendidikan, tingkat kesejahteraan, dan lain-lain perbedaan lainnya. Dari dulu-dulu juga telah diejawantahkan dalam Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Entah lupa atau dilupakan, pondasi yang maha sempurna ini seakan-akan berkurang pengaruhnya. Mungkin karena letaknya yang dibawah, tertimbun oleh tanah zaman. Tapi, pondasi tetaplah pondasi. Ia yang menopang bangunan agar senantiasa tegak. Ia yang menyalurkan beban dari seluruh bangunan ke tanah, hingga bangunan dapat bertahan sepanjang usianya.
Perbedaan seyogyanya dipandang sebagai kesempatan memperkaya perspektif dan paradigma. Berbeda pendapat menjadi media diskusi yang apik dengan mengedepankan logika-logika rasional yang brilian dan elegan. Tidakkah kita dapat merasakan nikmatnya duduk bersama? Minum kopi dengan pisang goreng hangat, berbicara satu sama lain. Mengeluarkan pendapat. Bukankah ini dijamin kelegalannya oleh undang-undang?
Pembelajaran seperti ini yang agaknya mulai langka di masyarakat kita. Generasi mulai bergeser (hampir) menjadi degradasi. Mungkin ada pengaruhnya juga dengan mulai berkurangnya tokoh-tokoh kharismatik yang membina, memperkaya paradigma, menjadi penengah, dan pemimpin diskusi-diskusi di ruang publik. Salah satu fungsi tokoh ini adalah tetap menjaga api visi bangsa agar senantiasa berkobar dari kayu-kayu yang bersilangan dan tumpang tindih. Bahkan, tokoh ini pula yang bertanggung jawab mempersilangkan dan memper’tumpangtindih’kan masyarakat guna memancing argumentasi-argumentasi sosial yang selama ini hanya dipendam dan menjadi uneg-uneg. Cara-cara seperti ini jelas mencerdaskan. Masyarakat menjadi terlatih menyelesaikan masalah dengan jalan musyawarah dan mufakat, sesuai dengan nilai-nilai moral yang dikristalkan dalam ideologi pancasila. Jika seluruh energi telah tersedot oleh waktu-waktu diskusi, mana yang akan dipakai untuk memukul, menendang, dan melempar batu?
Cukup dengan masyarakat, mari berpindah ke tempat yang lebih ‘higher’. Di kasta paling atas juga sedang terjadi persilangan dan per’tumpangtindih’an yang cukup seru. Ada kelompok besar yang mulai terguncang dikarenakan angota-anggotanya satu-satu mulai mbeling. Kata Biru sih, mbeling. Tapi, Putih sama Kuning ga’ ngerasa tuh. Jadi, apa yang sebenarnya terjadi? Apakah dalam kelompok besar (baca:koalisi) harus sepakat-sepakat saja? Rasanya memang perlu sedikit pergolakan biar mereka kelihatan kerja. Biar seru dilihat di berita televisi. Ya, memang seru. Seperti seru-seruan yang terjadi di pasar. Dagang. Setidaknya yang di’perdagangkan’ adalah sapi, bukan ayam atau burung puyuh.
Mulai muncul pertanyaan: kok kelihatannya terlalu lama ya? Padahal kalau mau dibikin simpel, ya simpel. Kaya sinetron stripping. Kalau ide sinetron itu dijadikan film, paling cuma satu setengah jam. Apalagi pelaku-pelaku semuanya adalah orang-orang cerdas. Mantan anak kuliahan. Jangan-jangan sudah terbiasa begitu sejak jadi anak kuliahan(nah, lo..)? Wake up, Sir. Ada BBM yang mengalami kelangkaan, kemiskinan yang menunggu untuk dientaskan, kebodohan yang secepatnya harus diterangkan, konflik keagamaan yang hendaknya didinginkan, dan masalah ‘tetek bengek’ lainnya. Yang penting, apinya tetap dijaga untuk menjamin kemajuan bangsa dan mensejahterakan rakyat, bukannya untuk masak roti dan dimakan oleh golongan-golongan sendiri.
Yah, demikianlah. Ibu memang cerdas. Terang saja, ilmunya langsung dari Tuhan. Semoga bangsa ini bisa belajar sedikit dari ibu saya. Yang penting, mau berubah. Itu saja. “Bukanlah seharusnya//perbedaan menjadi jurang//bukankah kita diciptakan//untuk dapat saling melengkapi//mengapa ini yang terjadi?” demikianlah syair apik yang dahulu dilantunkan oleh penyanyi cantik yang sekarang duduk di parlemen.


subjektif oleh Pambayun Kendi. P

Minggu, 06 Maret 2011

Malioboro: Uniquely Public Space

Malioboro yang Menyimpan Kenangan.
Kawasan Malioboro, walaupun sudah sering dikunjungi, tidak akan menimbulkan rasa jenuh untuk mengunjungi tempat itu di kemudian hari, baik oleh orang yang berdomisili di Yogyakarta ataupun wisatawan yang berasal dari daerah lain. Hal ini dikarenakan, kawasan Malioboro, lengkap dengan segala atribut di dalamnya, berhasil menimbulkan kenangan tersendiri bagi mereka. Suasana Malioboro yang begitu khas, yang tidak ditemui di tempat lain, memicu munculnya kenangan tersebut. Suasana yang khas tersebut terbentuk melalui elemen-elemen penyusun Malioboro, seperti: pedagang pakaian kaki lima, pedagang asesoris, pedagang barang antik, pedagang makanan, pengamen, pengemudi becak, andong, dan lain-lain. Elemen-elemen ini seolah menjadi pemicu munculnya ingatan tertentu bagi pengunjung yang mengunjungi kawasan itu untuk kali kedua dan seterusnya.
Tidak hanya elemen-elemen, pelaku seperti yang telah disebutkan, yang bisa memicu munculnya ingatan tertentu, street furniture, bangunan, dan penataan kawasan juga mampu menimbulkan kenangan bagi para pengunjung. Street furniture yang unik, yang tidak didapati di tempat lain, menjadi sangat mudah melekat dalam ingatan pengunjung terkait dengan ingatan tertentu. Lampu jalan yang bercat hijau dan antik, kursi beton yang ditata zig-zag, kursi kayu yang unik, dan pot-pot tanaman dari beton. Bangunan-bangunan, seperti: Malioboro mall, toko batik, pasar Beringharjo, benteng Vreedeburg, dan toko cinderamata. Kawasan yang tertata, entah disengaja atau tidak, terbagi menurut fungsinya. Jika berjalan dari arah parkir bus dekat videotron ke arah Monumen 11 Maret akan didapati penjual makanan menempati sisi jalan di sebelah kiri dan penjual pakaian dan asesoris di sebelah kanan. Jadi, jika pengunjung memilih untuk berwisata kuliner, maka ia akan memiilih berjalan di sisi sebelah kanan. Begitu sebaliknya jika pengunjung memilih untuk bebelanja pakaian dan asesoris. Jika telah penat berjalan, di ujung, dekat benteng Vreedeburg, terdapat ruang terbuka yang dilengkapi bangku-bangku sebagai tempat beristirahat.
Titik yang banyak “menyimpan kenangan” di Malioboro adalah Benteng Vreedeburg dan sekitarnya. Titik ini sering dijadikan sebagai tempat kegiatan yang bersifat kolektif. Seting ruang juga menunjang untuk dilakukannya kegiatan yang melibatkan kelompok. Ruang terbuka di depan benteng sering dijadikan tempat berkumpul, terutama pada sore hingga malam hari. Bangku-bangku yang disusun berdekatan memungkinkan terjadinya personal space pada jarak yang intim, sehingga banyak anak-anak muda yang menggunakannya untuk tempat bercakap-cakap terutama dengan lawan jenis. Seting yang demikian juga memungkinkan terjadinya perkenalan antara dua orang yang belum kenal sebelumnya, bahkan berlanjut ke jenjang pernikahan. Banyaknya pengamen yang “beraksi” di tempat ini menjadikan suasana menjadi semakin intim ketika pengamen menyannyikan lagu-lagu yang menggambarkan perasaan mereka pada saat itu.
Ruang terbuka di depan benteng juga sering digunakan untuk nongkrong dan kumpul-kumpul klub motor, vespa, mahasiswa, dan anak sekolah. Selain tempatnya yang memang memungkinkan, di tempat ini juga banyak penjual makanan, seperti nasi kucing dan sate. Di dekat perempatan sering digunakan sebagai tempat diadakannya kegiatan-kegiatan kesenian yang terencana. Misalnya, pada tanggal 31 Oktober (2009) lalu berlangsung acara kesenian yang diadakan mahasisiwa UNY dalam rangka menghimpun dana kemanusiaan untuk korban gempa di Padang. Pada waktu yang sama, di Monumen 11 Maret diadakan acara festival kuliner.
Ruang sebagai tempat kegiatan memang berpotensi menyimpan kenangan masa lalu. Seting ruang yang terekam di ingatan manusia terkait dengan kegiatan tertentu pada masa lalu dapat dijadikan pemicu munculnya ingatan tersebut jika suatu waktu manusia berada pada seting yang sama. adapun hal-hal yang menjadi sumber kenangan, diantaranya: ikatan batin pelaku dengan ruangnya, kegiatan yang terjadi pada waktu tertentu, dan seting ruang termasuk objek yang ada di dalamnya. Tidak mengherankan memang jika mendapati pengunjung yang mengunjungi Malioboro hanya untuk mengenang peristiwa berkesan pada masa lalu. Malioboro memang menyimpan kenangan.




Malioboro Sumber Inspirasi
Yogyakarta gudang seniman, sudah diakui oleh banyak orang. Banyak seniman dari berbagai cabang seni muncul dari kota ini. Bahkan, grup musik legendaris Kla Project khusus menulis lagu berjudul Yogyakarta yang menggambarkan suasana khas Kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta dengan suasananya menjadi inspirasi bagi seniman music, lukis, tari, sastra, drama, dan lain-lain.
Salah satu kawasan yang tidak kalah inspiratif adalah Malioboro. Malioboro lengkap dengan kegiatan dan suasananya mampu memunculkan ide-ide di benak seniman untuk menghasilkan buah karya. di sepanjang jalan Malioboro banyak didapati penjual benda-benda seni yang indah. Meskipun tidak semua yang diproduksi di tempat, namun tetap di dapati beberapa karya yang sangat jelas terinspirasi dari Malioboro. Terlihat dari beberapa lukisan dan desain kaos. Di sepanjang jalan Malioboro juga banyak di dapati seniman yang menerima pesanan membuat sketsa wajah meskipun yang di buat sketsanya adalah wajah pengunjung. Pengunjung adalah bagian temporal dari Malioboro.
Adapun yang menjadi sumber inspirasi terutama adalah objek-objek yang unik. Di Malioboro banyak terdapat objek unik, terutama arsitektur bangunan dan street furniture-nya. Bangunan berlanggam colonial dengan arsitektur yang khas ditampilkan oleh Benteng Vreedeburg, Kantor Pos, Bank BNI, dan bangunan lainnya. Street furniture berupa lampu jalan, bangku, dan monumen lengkap dengan detail warna dan tekstur menjadi sumber inspirasi visual yang unik. Tidak ketinggalan becak dan andong. Objek-objek fisik tersbut biasa dituangkan dalam sketsa, lukisan, dan foto. Seringkali objek-objek fisik tersebut dikombinasikan dengan kegiatan yang berlangsung, sehingga objek fisik menjadi penanda tempat dalam karya sketsa, lukis, dan foto.
Kegiatan yang paling utama di Malioboro adalah perdagangan. Dari kegiatan perdagangan, akan muncul kegiatan-kegiatan lain yang menjadi efeknya. Kegiatan-kegiatan tersebut memunculkan pola-pola yang kemudian dipahami sebagai perilaku, baik pedagang maupun pengunjung. Kegiatan dan perilaku tersebut tidak luput dari pengamatan seniman dan menjadi inspirasi dalam menciptakan karya seni. Sebagai contoh, lagu Yogyakarta dari Kla Project secara reseprentatif menggambarkan kegiatan-kegiatan yang terjadi di Malioboro. Contoh lainnya, kegiatan di Malioboro direkam dan dituangkan dalam media kaos yang apik dan menggugah senyum, Dagadu.
Suasana Malioboro yang berbeda dari tempat lainnya turut memunculkan inspirasi berkarya bagi para seniman. Para pedagang, penarik becak, dan kusir andong yang ramah dan berbahasa halus memunculkan atmosfir yang khas dan berbeda. Suasana keakraban jelas terlihat dari banyaknya pengunjung yang melakukan kegiatan kolektif. Banyak seniman yang biasa duduk dalam waktu yang agak lama sambil merenungi apa yang telah terekam dalam memorinya. Jika sudah demikian, dorongan untuk berkarya pun menjadi tidak terbendung lagi.
Malioboro memang sumber inspirasi. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya inspirasi tersebut, diantaranya: objek fisik yang unik, kegiatan dan perilaku pengunjung, dan suasana yang begitu khas di Malioboro.

Kamis, 03 Maret 2011

You Can Be Anyone You Want


            Terkadang kita berpikir untuk maju, atau hendak melakukan sesuatu, tetapi urung karena segera dicegah oleh diri kita sendiri. Ya, diri sendiri. Diri sendiri memang dapat berubah menjadi musuh yang sangat mematikan. Cara-cara pencegahan tersebut dimanifestasikan dalam bentuk rasa malas, minder, merasa tidak punya kemampuan, ataupun menjelek-jelekkan diri sendiri secara verbal. Di tengah kampanye ‘be yourself’ yang semakin gencar di media-media, haruskah kita bertahan dengan diri sendiri yang jelas-jelas memuat segudang sisi negatif?
            Pernahkah kita berpikir untuk menjadi orang lain? Apa manfaat yang kita peroleh jika menjadi orang lain? Salahkah berlaku demikian?
            Jika ingin pintar berbicara, jadilah Soekarno. Jika ingin tajam dalam menganalisa, jadilah Hatta. Jika ingin lancar merangkai kata-kata, jadilah Chairil. Jika ingin kaya raya, jadilah Martha Tilaar. Jika ingin pandai dalam mencipta karya rupa, jadilah Affandi. Jika ingin menggaet lebih banyak wanita, jadilah Donny Alamsyah atau Irfan Bachdim (nama-nama yang muncul 100% dalam negeri mengingat negeri ini juga penuh dengan orang-orang hebat). See,semudah itu untuk menjadi orang lain. Lalu mengapa kita bertahan dengan diri sendiri? Tidakkah kita punya keinginan untuk melangkah ke depan, ke keadaan yang lebih baik?
            Banyak orang bilang adalah palsu menjadi orang lain. Sebenarnya tidak juga. Jika kita mengikuti prosesnya dengan benar dan sungguh-sungguh, menjadi orang lain dan menjadi diri sendiri adalah dua hal yang berdekatan. Mario Teguh pernah berkata (sepanjang ingatan verbal saya): menirulah, hingga kamu tidak bisa meniru lagi. Meniru di sini mengisyaratkan untuk meniru orang lain (dalam tingkatan yang lebih ekstrem: menjadi orang lain), meniru hal-hal yang baik dari orang lain untuk dijadikan bagian dari diri sendiri. Semakin banyak hal-hal baik yang dapat kita tiru, semakin banyak hal-hal baik yang dapat kita simpan, semakin kaya diri kita.
            Untuk dapat menjadi orang lain, hal pertama yang harus dilakukan adalah belajar. Belajar secepat mungkin dari berbagai sumber dan media (literatur, televisi, artikel, film, berita, rumor, dsb). Kunci utama dari belajar adalah kebersediaan. Jika bersedia dan rela untuk belajar, maka proses belajar akan semakin cepat. Kita harus paham sepenuhnya mengenai orang-orang yang ingin kita menjadi dirinya. Kita harus dapat menyerap dengan cepat cara berpikirnya, cara berbicaranya, cara berjalannya, cara tersenyumnya, hingga caranya mencium seorang gadis (yang terakhir ini butuh keberanian ekstra, lho). Apapun tentang pribadi yang kita ingin menjadi dirinya harus kita serap dengan cepat untuk kemudian dipraktekkan. Persis seperti berakting. Para aktor seyogyanya harus melakukan observasi yang mendalam jika ingin sukses membawakan sebuah peran.
             Sebagai contoh, pada hari Sabtu kita ingin menjadi Gie (Soe Hok Gie). Untuk dapat ‘memerankan’ Gie dengan sempurna, kita harus melakukan hal-hal seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Bacalah buku-buku tulisannya, kenali hobi dan kebiasaannya. Contoh yang sukses membawakan Gie adalah Nicholas Saputra, yang memerankan Gie dalam film berjudul sama. Memang tidak terlalu sama, tapi kita tetap dapat meng- copy sosok Gie dari hasil observasi yang dilakukan Nicholas. Tontonlah film tersebut dua atau tiga kali. Perhatikan cara dia berbicara, tersenyum, cara berjalan, cara dia menatap, cara dia menyangklong tas, dan cara-cara lainnya. Buat rencana untuk melakukan apa-apa yang ‘Gie’ lakukan seperti dalam film tersebut: membaca, menulis, nonton film, berdiskusi, naik gunung, berkumpul dengan teman-teman, dsb. Dan ketika hari Sabtu tiba, bangunlah dengan label di dada: ‘hari ini aku adalah Gie’. Dan jika latihan ini sukses, minggu depan jadilah Soekarno, Hatta, Chairil, Affandi, atau siapapun yang ingin kamu menjadinya. Akan lebih baik jika kegiatan ini dianggap sebagai bagian dari kesenangan, seperti aktor yang menemukan kesenangan dalam berperan. 


            Lalu bagaimana dengan diri sendiri? Apakah hilang begitu saja dengan menjadi orang lain? Tentu tidak. Pada akhirnya kita adalah kita. Kita dengan muatan Soekarno, Hatta, Chairil, dan Affandi. Kita yang sudah tidak bisa lagi meniru karena semua pribadi yang kita inginkan telah menyatu ke dalam pemikiran dan jiwa kita. Yes, you can be anyone you want.
           

           

Senin, 28 Februari 2011

Belajar dari Fungsi Kuadrat



Adalah Matematika, induk dari Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Begitu pentingnya Matematika bagi ilmu pengetahuan sehingga Matematika dipelajari mulai dari seorang anak yang baru belajar menulis hingga di tingkat perguruan tinggi. Begitu banyak program komputer yang berkaitan langsung dengan Matematika. Bahkan, penemuan mutakhir pun harus melalui tahap perhitungan yang panjang dengan rumus – rumus yang kompleks pula. Maka tak heran bila kecerdasan seseorang dapat dinilai dari pemahamannya tentang Matematika.

Mencari akar Matematika sama halnya dengan kembali kepada Allah SWT. Tuhan Semesta Alam yang telah mengajarkan manusia. Tidak berhenti sampai di situ, bahkan Allah SWT mewajibkan hamba – Nya untuk menuntut ilmu dan Allah SWT meninggikan beberapa derajat orang-orang yang berilmu pengetahuan (Q.S 58 Ayat 11). Subhnallah, begitu pemurah Allah yang telah menjadikan menuntut ilmu sebagai ibadah. Padahal sesungguhnya ilmu yang didapat oleh manusia bermanfaat bagi manusia itu sendiri.

Dari sekian banyak rumus dan penjabaran Matematika, ternyata mengandung makna yang sangat mendalam. Bahkan bila dikaji lebih lanjut, dapat memberi dampak yang luar biasa positif bagi manusia sebagai agen IPTEK. Salah satunya adalah ‘ Fungsi Kuadrat’. Pokok bahasan yang lebih dahulu dipelajari di bangku Sekolah Menengah Atas ini memiliki bentuk umum y=ax +bx+c (dimana a,b, dan c sebagai konstanta dan x sebagai Variabel) dan bila digambarkan dalam bentuk kurva akan berbentuk seperti huruf U (atau seperti huruf V tanpa sudut). Lalu apa yang menjadi rahasia dibalik bentuk umum tersebut

Bentuk y=ax +bx+c dimana a selalu bernilai positf (a>0) mengajarkan kepada kita untuk selalu memulai sesuatu dengan hal positif. Selalu berpikir bagaimana ilmu yang didapat nantinya akan bermanfaat bagi kemaslahatan umat. Belajar itu ibadah apabila disertai dengan niat yang ikhlas. Keyakinan inilah yang menjadi modal kita sehingga kita mempunyai nilai (bukan nol).

Meskipun a selalu bernilai positif, tetapi b dan c tidak selalu demikian. b dan c bisa saja bernilai negatif. Tapi lihat yang terjadi pada kurva. Setelah melewati lembah, kurva terus naik tanpa pernah turun sekalipun. Sangat berbeda dengan logika yang menyatakan bahwa konstanta negatif mengisyaratkan grafik turun.

 Hidup tidak dapat dipungkiri selau mengandung nilai – nilai negatif. Betapapun kerasnya manusia menghindari nilai – nilai tersebut, manusia pasti mengalaminya. Tapi, hanya manusia yang kreatif dan penuh inovatif, yang mampu mengubah nilai – nilai negatif yang ada disekelilingnya menjadi peluang untuk terus maju. Terus menjadi lebih baik.



Nilai dari variabel x yang belum diketahui mengajarkan kita untuk tidak sombong dan cepat puas dalam menuntut ilmu. Masih banyak yang belum diketahui, masih banyak yang belum ditemukan, dan masih banyak yang bisa kita sumbangkan buat kemajuan IPTEK. Selalu seperti gelas yang kosong yang tiap detiknya diisi dengan tetesan air.

Apabila digambarkan dalam bentuk kurva, fungsi kuadrat akan berbentuk seperti huruf U atau V tanpa sudut. Seperti jalan seseorang yang bersungguh – sungguh dalam menuntut ilmu. Meskipun sesuatu dimulai dengan positif, suatu saat akan mengalami penurunan seiring berjalannya waktu. Namun, ini tidak boleh dibiarkan terlalu lama. Perbaharui niat terus – menerus, ikhtiar tiada henti dengan memberdayakan potensi yang ada. Insya Allah kurva tersebut akan naik kembali, bahkan bisa jadi tanpa batas bila variabel x terus ditambah dari waktu ke waktu.

Sebelum menggambar kurva, kita harus mengetahui nilai x dan y. Setelah semua komponen ditemukan, kemudian disusun ke dalam sumbu x dan sumbu y pada Diagram Cartesius. Sumbu x sebagai sumbu horisontal dan sumbu y sebagai sumbu vertikal. Kedua sumbu tersebut berfungsi sebagai koridor / acuan dalam menggambar kurva. Tanpa keduanya, mustahil kurva fungsi kuadrat dapat diwujudkan.

Apabila manusia ingin mendapat ilmu yang barokah, maka ia harus menjaga hubungan vertikal dengan penciptanya (hablum minallah). Selalu berdoa agar mendapat keridhaan Allah SWT. Merenungi segala ciptaan – Nya, senantiasa berpikir, dan menjaga takwa. ”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) -nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah SWT) bagi kaum yang memikirkan”. (Q.S 2 Ayat 164). Begitulah cara Allah SWT mengajar manusia. Semakin banyak ilmu, semakin merasa kecil di hadapan – Nya, dan semakin ingin selalu berdekatan dengan – Nya. Itulah esensi sesungguhnya dari ilmu pengetahuan.

Hakikat IPTEK adalah menuju sesuatu yang lebih baik. Mencipta sesuatu yang belum ada menjadi ada dari buah pemikiran. Namun, pemikiran yang terlepas dari koridornya dapat memberikan efek yang sangat buruk. Untuk itu perlu adanya hubungan horisontal yang baik dengan sesama manusia (hablum minannas). Membangun empati dan tenggang rasa untuk mengenal kebutuhan manusia. Merekam setiap fenomena sosial yang terjadi, sehingga hasil temuan kelak dapat bermanfaat bagi hidup manusia. Nuklir adalah sumber tenaga. Nuklir adalah untuk penerangan. Nuklir bukanlah alat untuk menghancurkan peradaban. Nuklir bukanlah alat untuk menciptakan kesengsaraan.

Selain itu, ilmu yang bermanfaat juga harus diajarkan. Selain bernilai ibadah, ilmu yang diajarkan juga dapat dijadikan sebagai pemicu munculnya pemikir – pemikir baru yang diharapkan dapat menciptakan pengetahuan – pengetahuan baru.
Sebagian orang berpendapat bahwa IPTEK dan Agama (khususnya Islam) sama sekali tidak dapat disatukan. Islam hanya akan menjadi penghalang / pembatas kemajuan IPTEK. Pernyataan ini sama sekali tidak benar. IPTEK dan Islam saling sejalan dan melengkapi. Tanpa Islam, IPTEK tak ubahnya seperti mobil tanpa kemudi. Tanpa IPTEK, manusia juga akan kehilangan identitasnya sebagai seorang muslim. Seperti halnya sistem penambahan. Salah satu sisi tidak boleh bernilai nol agar menjadi berarti (a+b ≠ a+0). Bahkan, untuk tingkatan yang lebih ekstrim lagi seperti pada sistem perkalian, sisi bernilai nol akan menghilangkan makna sisi yang lainnya (a.b=ab, a.0=0)

Untuk menuju suatu tujuan yang mulia, selalu ada kompetitor / pesaing. Setiap orang (bahkan negara) berlomba – lomba menjadi yang terbaik. Segala cara dilakukan. Hitam menjadi putih dan putih menjadi hitam. Perang teknologi tidak dapat dihindari. Pihak – pihak yang tidak senang dengan pesatnya laju pertumbuhan ilmuwan – ilmuwan Islam selalu mencari cara untuk menghambat laju tersebut. Tidak perlu khawatir kalah dalam persaingan selama kita berpegang teguh pada tali agama Allah. Menuntut ilmu adalah ibadah. Niat ikhlas demi kemaslahatan umat, demi hidup bahagia dunia dan akhirat. Buktikan, bahwa seorang muslim dapat berarti dan bermanfaat bagi perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Fastabikul khairaat. Subhanallah.