Jumat, 22 April 2011

Hijau Bukanlah Simbol

Setiap 20 April pada tiap tahun kita manusia memperingati hari bumi. Layaknya sebuah peringatan, ada sebentuk rasa terima kasih yang terbalut dalam memori historis dan semangat untuk terus melangkah ke depan. Hari pahlawan, misalnya. Sedari kecil kita diajarkan untuk menghormati jasa-jasa para pahlawan dengan mengisi kemerdekaan dengan pembangunan, prestasi, dan kegiatan bermanfaat. Bukannya skeptis, seiring perjalanan waktu peringatan-peringatan tersebut semakin kerdil sebagai simbol yang dangkal maknanya: tapi sangat disukai.


Beberapa hari yang lalu di kampus ‘kita’ diadakan sebentuk aksi car free day dalam rangka memperingati hari bumi. Mobil-mobil (dan sepeda motor: car free day?) yang hendak masuk kampus dihadang dan pengemudinya dipersilakan jalan kaki. Semakin semarak dengan diadakannya pentas musik di dekat pintu masuk. Sebuah lompatan yang cukup bagus, terasa pada awalnya, namun sangat mengecewakan pada akhirnya: simbol yang dangkal makna. Car free day bukanlah car free day sesungguhnya dimana satu hari adalah 24 jam. Sehabis jam makan siang, kendaraan-kendaraan bermotor sudah ber-wara-wiri lagi di kampus seakan tidak terjadi apa-apa. Bahkan, menurut penuturan seorang teman, ada ‘staf pengajar universitas’ yang menunda mengadakan Ujian Tengah Semester hingga jam satu dengan alasan…. Fffiiiiiiiiuuhhhh.


Waktu masih semester tiga (atau empat?) lalu, sekelompok mahasiswa arsitektur melakukan survey ke sebuah showroom produk otomotif ternama asal Jepang (termasuk dalam kelompok ini adalah saya) guna memperoleh informasi untuk tugas perancangan. Saya masih ingat, seorang tour guide yang terbilang cantik, memberikan penjelasan panjang lebar atas semua pertanyaan yang kami lontarkan. Si ‘Mbak’ juga sangat bersemangat menerangkan komitmen perusahaan terkait lingkungan hidup. Beberapa kali ia mengucapkan kata green di sela-sela paparannya. Saya memperhatikan, di kaca bagian office di lantai dua juga ditempeli penghalang pandangan dengan warna hijau dengan gambar daun yang banyak. Wah, serius nih. Iseng, saya melemparkan pertanyaan: berapa perbandingan antara perkerasan dan hijauan bangunan ini? ada 60-40 sesuai rekomendasi yang umum dipakai? Si Mbak langsung diam dan agak cemberut. Wah, makin cantik dia ternyata. Naluri menggoda bangkit, saya teruskan: dikarenakan showroom ini lokasinya di up town, seharusnya persentasenya bisa kebalik lo, mbak. Jadi 40-60. Ahh… lagi-lagi simbol.


Kalau mau cerita-cerita simbol yang lainnya, masih banyak kok. Tidak percaya? Lihat saja aksi penanaman seribu pohon (yang tidak dibarengi pemeliharaan). Lambang partai politik, banyak yang hijau. Atap gedung DPR (yang lama) juga hijau. Warna jas almamater juga banyak yang hijau. Habis lampu merah pasti hijau. Tapi, tak satupun dari hijau-hijau itu berperilaku layaknya hijau. Apalagi produk rokok yang asyiknya rame-rame…. Sumber CO2 itu mah.


Mari memperhatikan beberapa data mengenai isu terkait. Hampir 90% penyebab pemanasan global adalah ulah manusia membakar bahan bakar fosil yang menghasilkan karbon dioksida (CO2) : 29,5% dari sektor pembangkit daya, 20,6% dari sektor industri, dan 19,2% dari sektor transportasi. (Indonesia adalah negara penghasil CO2 terbesar nomor 11 di dunia - sumber : Intergovernmental Panel on Climate tahun 2007). Kasus di Amerika : panas yang diakibatkan oleh pembakaran energi untuk bangunan arsitektur sebesar 48%, transportasi 27% dan industri 25%. Penggunaan energi untuk bangunan arsitektur tersebut terdiri dari 40% untuk penerangan buatan, 40% untuk AC, dan 20% untuk kebutuhan lain [(sumber : WorldWatch Institute tahun 2003). Data di atas disalin dari perkuliahan Perancangan Kota 2]. Geliat aktivitas perkotaan jelas memberikan sumbangsih terhadap tingginya kadar CO2 yang mengakibatkan tingginya suhu lingkungan. Belum lagi volume perkerasan yang tidak proporsional.


Jika membicarakan problem lingkungan, topik yang paling kerap muncul adalah isu keberlanjutan (sustainability). Sustainability menuntut adanya planning and designing sebagai titik tolak penerapannya. Secara mendasar, prinsip sustainability diejawantahkan dalam tiga sudut elemen kehidupan, yakni: lingkungan (environment), pertumbuhan ekonomi (economic growth), dan masyarakat (society). Idealnya, ketiga elemen tersebut harus berjalan dengan berimbang, tanpa ada yang berat sebelah. Namun, pada kenyataannya elemen pertumbuhan ekonomi porsinya semakin membesar dari waktu ke waktu, menggeser yang lainnya. Demi ‘modal yang sekecil-kecilnya, pendapatan yang sebesar-besarnya’ apapun bisa dikalahkan. Uang memang bisa bicara. Uang juga bisa membunuh. Uang juga bisa merevisi rencana dan desain kota seenak jidatnya.


Indonesia, sebagai zamrud ‘hijau’ khatulistiwa, sebenarnya telah menerapkan dasar-dasar sustainability sejak dahulu; bahkan juga gaya hidup hijau. Ciri nyata dapat ditrmui pada arsitektur rumah tradisional: prinsip-prinsip hijau melalui bangunan tropis. Siang hari tidak terasa panas karena pembayangan dari teritis yang lebar dan ventilasi silang; tidak perlu AC. Siang hari juga tidak perlu penerangan buatan karena adanya bukaan dengan arah yang tepat (utara-selatan). Pohon-pohon sebagai pereduksi polutan terpelihara dengan baik, dan rupa-rupa lainnya. Kearifan-kearifan lokal yang mengajarkan pola hidup seimbang, tidak berat sebelah, dan bersahabat dengan alam menunjukkan betapa tidak inginnya pendahulu kita untuk menjadi rakus. Rakus adalah kata lain dari kapitalisme, sebuah virus yang terbawa angin dari barat yang meracuni pikiran orang-orang kita, hingga mengacaukan prinsip-prinsip keseimbangan, memberatkan kepada satu elemen saja.


Kembali ke isu perkotaan, kenyataannya dari 220 juta jiwa penduduk Indonesia, lebih dari separuhnya tinggal di perkotaan. Bisa dibayangkan tingginya aktivitas perkotaan yang menuntut konsumsi energi yang tinggi pula. Energi memang kekal; tidak dapat diciptakan juga tidak dapat dimusnahkan. Namun, bahan bakar dan sumber daya terbatas. Lama-lama habis. Efek yang dihasilkan dari pemanfaatan energi besar-besaran juga bisa jadi sangat buruk: paling utama adalah pemanasan global dan pencemaran udara oleh CO2. Tingginya suhu berdampak pada pencairan es di kutub-kutub dalam skala yang cukup besar, sehingga menyebabkan naiknya permukaan air laut rata-rata 20 cm per tahun. Cuaca jadi tidak menentu. Yang seharusnya musim kemarau, malah turun hujan. Di bulai sedia ‘ember’ malah panas terik, dan tak jarang terjadi kebakaran hutan. Kualitas udara menurun, rata-rata hanya tiga hari dalam satu tahun, udara kota Jakarta dinyatakan bersih. Penurunan kualitas lingkungan yang demikian, jika terus dibiarkan suatu saat pasti mengancam kelangsungan hidup manusia.


Oleh karena itu, perwujudan kota tropis di Indonesia adalah mutlak, karena pada kenyataannya, tidak semua kota di Indonesia tergolong kota tropis meskipun berada di negara tropis. Penerapan peraturan terkait pemanfaatan lahan dan pengendalian pemanfaatan ruang harus tegas, jangan mau dibengkokkan oleh uang. Masterplan kota harus merespon kebutuhan masyarakat kota akan wadah beraktivitas: bekerja, berekreasi, berinteraksi, dan bermukim secara efektif dan cerdas. Wadah-wadah kegiatan terebut juga harus dirancang sebaik-baiknya hingga aman dan nyaman untuk digunakan. Penghijauan sebagai elemen pembayangan, suplay oksigen dan peredam kebisingan diperbanyak. Ruang terbuka hijau tetap dipertahankan luasannya minimal 30%.


Guna mengurangi pemakaian kendaraan bermotor (yang berarti mengurangi pencemaran udara), sarana tansportasi massa harus mendapat perhatian kuhsus. Jalur sirkulasi kendaraan dibuat jelas, terintegrasi, dan mudah diakses. Sarana transportasi massa dibuat selayak dan senyaman mungkin. Jalur pejalan kaki dibuat senyaman mungkin dengan dimensi yang tepat, pembayangan (dari pepohonan atau gedung di sebelahnya), dan naungan dari hujan di beberapa titik. Yang lebih penting adalah mengedukasi masyarakat untuk tidak melulu menggunakan kendaraan pribadi.


Jadi, apakah kita masih senang dengan sesuatu yang berbau simbol? Masih? Tunggu saja sampai tubuh panas terbakar dan mulut megap-megap mencari udara. Tunggu saja….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar